Saturday, October 22, 2011
Home »
spritual
»
Belajar Ikhlas Dari Semut
Sejak lama saya memang menyenangi kehidupan binatang, termasuk binatang kecil, seperti semut, belalang, anai-anai atau laron, dan seterusnya. Kesenangan saya terhadap binatang itu mungkin tidak lepas dari lingkungan hidup saya sejak kecil di pedesaan. Kesenangan itu tidak pernah hilang sampai seumur ini. Sebagai bagian dari kesenangan itu, di pagi hari, jika ada waktu, saya suka sekali memberi makan semut. Saya mengambil segenggam gula, lalu saya sebarkan di halaman belakang atau depan rumah. Segera kemudian semut-semut berdatangan, mengambil butir-butir gula tersebut.
Saya selalu memperhatikan perilaku semut. Semut-semut itu datang mengambil sebutir demi sebutir gula. Tidak pernah saya melihat ada semut berebut. Semut cukup mengambil sebutir gula, lalu pergi. Saya tidak mengerti bahasa semut. Tetapi saya memperhatikan, tanduk semut yang kecil dan panjang bergerak-gerak. Saya menduga bahwa dengan gerakan itu, semut bermaksud untuk memanggil teman-temannya bahwa di tempat itu ada makanan.
Semut biasanya setelah mendapatkan sebutir gula, membawanya ke liang tempat persembunyian. Jika dalam perjalanan, bertemu dengan sesama, semut-semut itu damai-damai saja, tidak merebut makanan milik kawanya. Setiap ketemu antar sesama, semut saling menyapa, dan kemudian meneruskan perjalanan. Bagi yang belum memperoleh makanan, menuju ke arah makanan itu berada.
Pelajaran berharga yang saya tangkap dari kehidupan semut itu, di antaranya adalah bahwa binatang ukuran kecil tersebut tidak bernah berambisi atau berlebih-lebihan dalam mendapatkan makanan. Setiap semut hanya membutuhkan sebutir gula yang diperlukan ketika itu. Semut tidak tamak atau aji mumpung, mengambil makanan sebanyak-banyaknya, untuk digunakan sebagai cadangan jika suatu saat terjadi krisis, atau dijadikan sebagai barang kekayaannya. Semut tidak sebagaimana manusia, tidak memerlukan sebutan kaya atau miskin.
Sore kemarin menjelang maghrib di sekitar rumah turun hujan, sehingga setelah itu, sebagaimana biasa, keluarlah anai-anai atau laron. Binatang kecil yang hanya keluar setelah turun hujan di waktu pagi atau sore, jika keadaan gelap selalu mencari lampu di mana saja berada.. Sehingga lampu-lampu di luar rumah, ketika saya pergi ke masjid, dipenuhi binatang kecil bersayap empat itu. Masjid agar di dalamnya tidak dikotori oleh binatang itu, oleh salah seorang jamaáh, pintunya ditutup. Tetapi, masih tetap saja, ada satu dua ekor yang lolos, bisa masuk ke dalam masjid.
Tatkala sedang wiridan setelah sholat, di depan saya terdapat beberapa ekor anai-anai beterbngan . Sambil mengucapkan dzikir, terus terang, konsentrasi saya menjadi tertuju pada binatang yang masa hidupnya sangat singkat itu. Bahkan, secara tiba-tiba, seekor anai-anai terjatuh persis di tempat sujud saya. Sekalipun sedang berdzikir, perhatian saya menjadi tertuju pada binatang itu. Laron yang baru terjatuh itu masih bisa berjalan dengan menggerak-gerakkan sayapnya. Kebetulan di sekitar itu pula terdapat beberapa ekor semut. Sebagaimana nalurinya, semut-semut tersebut rupanya mau menangkap sayap anai-anai itu, untuk dimakan bersama.
Saya melihat dengan jelas, ketika terasa bahwa sayapnya tersentuh oleh semut, anai-anai itu langsung melepaskan sayapnya itu dengan spontan. Dia tinggalkan ke empat lembar sayapnya itu, dan kemudian pergi, berjalan tanpa sayap lagi. Saya benar-benar memperhatikan bahwa anai-anai tersebut melepas begitu saja sayapnya, dan meninggalkannya sayap itu dengan ikhlas, tanpa harus bertengkar dengan semut. Selanjutnya, beberapa semut mengambil sayap itu bersama-sama, dan membawanya ke tempat persembunyian mereka.
Dalam suasana berdzikir, mestinya tidak boleh berkonsentrasi kemana-mana kecuali ke Dzat Yang Maha Kuasa, ialah Allah swt. Namun dalam usia setua ini, saya masih belum bisa berkonsentrasi hanya tertuju pada apa yang sedang saya ucapkan, berdzikir khusuk kepada-Nya. Dalam suasana dzikir pun, saya masih bisa terganggu oleh perilaku binatang berukuran kecil itu. Namun, saya beruntung, dengan memperhatikan anai-anai itu saya mendapatkan pelajaran baru tentang ikhlas. Anai-anai yang hanya memiliki empat lembar sayap, sebagai harta penyangga hidupnya, ketika dibutuhkan oleh binatang lain, ------dalam hal ini semut, maka sayapnya tersebut segera dilepaskannya.
Ketika itu saya membayangkan, apakah ini yang dimaksud dengan ikhlas, yaitu memberikan sesuatu yang dimiliki, yang sesungguhnya sangat berharga, dan bahkan harta itu adalah satu-satunya penyangga hidupnya, kepada yang memang membutuhkan, tanpa ada transaksi apa-apa. Saya ketika itu segera mengucapkan, subhanallah. Ternyata, di saat berdzikir bakda sholat, saya mendapatkan pelajaran mulia tentang ikhlas.. Pelajaran itu bukan saya dapatkan dari ustadz, kyai, atau ulama’ tetapi justru dari binatang yang tidak pernah mendapatkan perhatian dari manusia yang mengaku lebih mulia ini.
Memperhatikan kehidupan binatang, seringkali kita mendapatkan pelajaran moral yang luar biasa. Binatang pun jika disapa akan menunjukkan terima kasihnya. Pada suatu saat, karena lama tidak memberikan makanan, saya pernah diingatkan oleh serangga itu. Sepulang dari sholat maghrib di masjid, saya, isteri, dan anak saya melihat sesuatu yang sangat mengejutkan. Tembok di sebelah ruang makan, di rumah, dipenuhi oleh semut. Atas kejadian itu, isteri dan anak saya, tidak saja kaget, tetapi juga takut, karena melihat begitu banyak semut. Isteri saya segera perintah agar segera mencari baigon untuk membasmi binatang itu. Saya melarangnya. Kepada isteri dan anak saya, saya mengatakan, bahwa memang sudah agak lama semut-semut itu tidak saya beri makan. Mungkin semut-semut itu memberikan peringatan kepada kita. Maka, saya sangupi besuk pagi akan saya beri gula sebagaimana biasanya.
Tanpa diganggu, akhirnya sekian banyak semut yang memenuhi seluas tembok itu, setelah selang beberapa menit, -------tidak lebih dari lima belas menit, menghilang. Semut-semut itu tentu pergi ke tempat persembunyiannya. Setelah itu saya panggil isteri dan anak saya, bahwa semut sudah pergi. Mereka datang dan lihat bersama-sama, bahwa semut sudah menghilang, pergi. Saya mengatakan, bahwa mungkin semut-semut itu mengingatkan pada saya, bahwa sudah beberapa lama, -----karena kesibukan, tidak memberi gula.
Selanjutnya, saya mengatakan kepada isteri dan anak saya, bahwa semut pun juga memberi peringatan, agar kita beristiqomah dalam beramal. Saya tambahkan bahwa binatang, sesungguhnya sama dengan kita, adalah makhluk Allah. Mereka juga bertasbih dan bersyukur, dan bahkan lebih istiqomah. Dalam al Qurán dikatakan bahwa, manusia ada yang sama dengan binatang, bahkan kadang lebih sesat. Semoga, kita tidak termasuk bagian dari makhluk yang disebut lebih sesat itu. Di kanan kiri kita, sesungguhnya banyak pelajaran mulia yang bisa di petik. Bahkan pelajaran itu juga dari binatang kecil dan sederhana, semisal semut dan atau anai-anai. Saya mendapatkan pelajaran tentang ikhlas, ternyata justru dari anai-anai yang berhasil lolos, masuk masjid. Wallahu a’lam.
Sumber: webnisa
Belajar Ikhlas Dari Semut
Sejak lama saya memang menyenangi kehidupan binatang, termasuk binatang kecil, seperti semut, belalang, anai-anai atau laron, dan seterusnya. Kesenangan saya terhadap binatang itu mungkin tidak lepas dari lingkungan hidup saya sejak kecil di pedesaan. Kesenangan itu tidak pernah hilang sampai seumur ini. Sebagai bagian dari kesenangan itu, di pagi hari, jika ada waktu, saya suka sekali memberi makan semut. Saya mengambil segenggam gula, lalu saya sebarkan di halaman belakang atau depan rumah. Segera kemudian semut-semut berdatangan, mengambil butir-butir gula tersebut.
Saya selalu memperhatikan perilaku semut. Semut-semut itu datang mengambil sebutir demi sebutir gula. Tidak pernah saya melihat ada semut berebut. Semut cukup mengambil sebutir gula, lalu pergi. Saya tidak mengerti bahasa semut. Tetapi saya memperhatikan, tanduk semut yang kecil dan panjang bergerak-gerak. Saya menduga bahwa dengan gerakan itu, semut bermaksud untuk memanggil teman-temannya bahwa di tempat itu ada makanan.
Semut biasanya setelah mendapatkan sebutir gula, membawanya ke liang tempat persembunyian. Jika dalam perjalanan, bertemu dengan sesama, semut-semut itu damai-damai saja, tidak merebut makanan milik kawanya. Setiap ketemu antar sesama, semut saling menyapa, dan kemudian meneruskan perjalanan. Bagi yang belum memperoleh makanan, menuju ke arah makanan itu berada.
Pelajaran berharga yang saya tangkap dari kehidupan semut itu, di antaranya adalah bahwa binatang ukuran kecil tersebut tidak bernah berambisi atau berlebih-lebihan dalam mendapatkan makanan. Setiap semut hanya membutuhkan sebutir gula yang diperlukan ketika itu. Semut tidak tamak atau aji mumpung, mengambil makanan sebanyak-banyaknya, untuk digunakan sebagai cadangan jika suatu saat terjadi krisis, atau dijadikan sebagai barang kekayaannya. Semut tidak sebagaimana manusia, tidak memerlukan sebutan kaya atau miskin.
Sore kemarin menjelang maghrib di sekitar rumah turun hujan, sehingga setelah itu, sebagaimana biasa, keluarlah anai-anai atau laron. Binatang kecil yang hanya keluar setelah turun hujan di waktu pagi atau sore, jika keadaan gelap selalu mencari lampu di mana saja berada.. Sehingga lampu-lampu di luar rumah, ketika saya pergi ke masjid, dipenuhi binatang kecil bersayap empat itu. Masjid agar di dalamnya tidak dikotori oleh binatang itu, oleh salah seorang jamaáh, pintunya ditutup. Tetapi, masih tetap saja, ada satu dua ekor yang lolos, bisa masuk ke dalam masjid.
Tatkala sedang wiridan setelah sholat, di depan saya terdapat beberapa ekor anai-anai beterbngan . Sambil mengucapkan dzikir, terus terang, konsentrasi saya menjadi tertuju pada binatang yang masa hidupnya sangat singkat itu. Bahkan, secara tiba-tiba, seekor anai-anai terjatuh persis di tempat sujud saya. Sekalipun sedang berdzikir, perhatian saya menjadi tertuju pada binatang itu. Laron yang baru terjatuh itu masih bisa berjalan dengan menggerak-gerakkan sayapnya. Kebetulan di sekitar itu pula terdapat beberapa ekor semut. Sebagaimana nalurinya, semut-semut tersebut rupanya mau menangkap sayap anai-anai itu, untuk dimakan bersama.
Saya melihat dengan jelas, ketika terasa bahwa sayapnya tersentuh oleh semut, anai-anai itu langsung melepaskan sayapnya itu dengan spontan. Dia tinggalkan ke empat lembar sayapnya itu, dan kemudian pergi, berjalan tanpa sayap lagi. Saya benar-benar memperhatikan bahwa anai-anai tersebut melepas begitu saja sayapnya, dan meninggalkannya sayap itu dengan ikhlas, tanpa harus bertengkar dengan semut. Selanjutnya, beberapa semut mengambil sayap itu bersama-sama, dan membawanya ke tempat persembunyian mereka.
Dalam suasana berdzikir, mestinya tidak boleh berkonsentrasi kemana-mana kecuali ke Dzat Yang Maha Kuasa, ialah Allah swt. Namun dalam usia setua ini, saya masih belum bisa berkonsentrasi hanya tertuju pada apa yang sedang saya ucapkan, berdzikir khusuk kepada-Nya. Dalam suasana dzikir pun, saya masih bisa terganggu oleh perilaku binatang berukuran kecil itu. Namun, saya beruntung, dengan memperhatikan anai-anai itu saya mendapatkan pelajaran baru tentang ikhlas. Anai-anai yang hanya memiliki empat lembar sayap, sebagai harta penyangga hidupnya, ketika dibutuhkan oleh binatang lain, ------dalam hal ini semut, maka sayapnya tersebut segera dilepaskannya.
Ketika itu saya membayangkan, apakah ini yang dimaksud dengan ikhlas, yaitu memberikan sesuatu yang dimiliki, yang sesungguhnya sangat berharga, dan bahkan harta itu adalah satu-satunya penyangga hidupnya, kepada yang memang membutuhkan, tanpa ada transaksi apa-apa. Saya ketika itu segera mengucapkan, subhanallah. Ternyata, di saat berdzikir bakda sholat, saya mendapatkan pelajaran mulia tentang ikhlas.. Pelajaran itu bukan saya dapatkan dari ustadz, kyai, atau ulama’ tetapi justru dari binatang yang tidak pernah mendapatkan perhatian dari manusia yang mengaku lebih mulia ini.
Memperhatikan kehidupan binatang, seringkali kita mendapatkan pelajaran moral yang luar biasa. Binatang pun jika disapa akan menunjukkan terima kasihnya. Pada suatu saat, karena lama tidak memberikan makanan, saya pernah diingatkan oleh serangga itu. Sepulang dari sholat maghrib di masjid, saya, isteri, dan anak saya melihat sesuatu yang sangat mengejutkan. Tembok di sebelah ruang makan, di rumah, dipenuhi oleh semut. Atas kejadian itu, isteri dan anak saya, tidak saja kaget, tetapi juga takut, karena melihat begitu banyak semut. Isteri saya segera perintah agar segera mencari baigon untuk membasmi binatang itu. Saya melarangnya. Kepada isteri dan anak saya, saya mengatakan, bahwa memang sudah agak lama semut-semut itu tidak saya beri makan. Mungkin semut-semut itu memberikan peringatan kepada kita. Maka, saya sangupi besuk pagi akan saya beri gula sebagaimana biasanya.
Tanpa diganggu, akhirnya sekian banyak semut yang memenuhi seluas tembok itu, setelah selang beberapa menit, -------tidak lebih dari lima belas menit, menghilang. Semut-semut itu tentu pergi ke tempat persembunyiannya. Setelah itu saya panggil isteri dan anak saya, bahwa semut sudah pergi. Mereka datang dan lihat bersama-sama, bahwa semut sudah menghilang, pergi. Saya mengatakan, bahwa mungkin semut-semut itu mengingatkan pada saya, bahwa sudah beberapa lama, -----karena kesibukan, tidak memberi gula.
Selanjutnya, saya mengatakan kepada isteri dan anak saya, bahwa semut pun juga memberi peringatan, agar kita beristiqomah dalam beramal. Saya tambahkan bahwa binatang, sesungguhnya sama dengan kita, adalah makhluk Allah. Mereka juga bertasbih dan bersyukur, dan bahkan lebih istiqomah. Dalam al Qurán dikatakan bahwa, manusia ada yang sama dengan binatang, bahkan kadang lebih sesat. Semoga, kita tidak termasuk bagian dari makhluk yang disebut lebih sesat itu. Di kanan kiri kita, sesungguhnya banyak pelajaran mulia yang bisa di petik. Bahkan pelajaran itu juga dari binatang kecil dan sederhana, semisal semut dan atau anai-anai. Saya mendapatkan pelajaran tentang ikhlas, ternyata justru dari anai-anai yang berhasil lolos, masuk masjid. Wallahu a’lam.
Sumber: webnisa
Belajar Ikhlas Dari Semut
2011-10-22T14:47:00+08:00
alissa
spritual|